Empati di Era Ponsel: Membimbing Siswa SMP Agar Peka Terhadap Perasaan Teman

Di tengah dominasi gawai dan interaksi serba digital, kemampuan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk berempati—merasakan dan memahami perasaan orang lain—sering tergerus. Layar ponsel yang menawarkan privasi dan anonimitas terkadang membuat remaja berani melontarkan kata-kata yang menyakitkan tanpa melihat langsung dampak emosionalnya. Oleh karena itu, penting sekali bagi institusi pendidikan untuk secara sistematis Membimbing Siswa agar kembali peka terhadap perasaan teman-teman mereka. Mengembangkan empati di era digital bukan hanya tugas guru Bimbingan Konseling (BK), tetapi merupakan tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan suportif.

Langkah pertama dalam Membimbing Siswa adalah menanamkan konsep Empati Digital. Konsep ini mengajarkan bahwa komentar, unggahan, atau pesan di media sosial memiliki bobot emosional yang sama dengan ucapan langsung. Siswa perlu dilatih untuk selalu menerapkan “Aturan Emas” (Golden Rule) sebelum menekan tombol kirim: “Apakah saya ingin kata-kata ini dibaca atau ditujukan kepada saya?” Praktik ini menjadi sangat krusial mengingat data yang dirilis oleh Divisi Pelayanan Masyarakat di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat pada tanggal 15 Mei 2025 menunjukkan adanya kenaikan kasus cyberbullying sebesar 30% di kalangan remaja usia 12-15 tahun, yang sebagian besar dipicu oleh rendahnya filter empati dalam berinteraksi daring. Sekolah dapat mengadakan sesi role-playing atau sosiodrama, di mana siswa diminta bertukar peran menjadi korban dan pelaku perundungan siber, sehingga mereka dapat merasakan konsekuensi emosional dari tindakan mereka.

Selain melalui simulasi, teknik efektif lain dalam Membimbing Siswa adalah melalui literasi emosi. Banyak remaja kesulitan berempati karena mereka sendiri tidak mampu mengenali dan menamai perasaan mereka secara akurat. Program di SMP Harapan Bangsa, misalnya, mewajibkan sesi “Kamis Reflektif” di mana siswa diajak membuat Jurnal Emosi. Dalam jurnal tersebut, mereka mencatat satu situasi yang memicu emosi kuat (marah, sedih, atau bahagia) dan menganalisis mengapa perasaan itu muncul. Dengan lebih memahami dinamika emosi internal mereka sendiri, siswa menjadi lebih terampil dalam membaca dan menanggapi isyarat emosional dari teman sebayanya. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian bahwa empati kognitif—kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain—berkorelasi positif dengan kecakapan mereka dalam mengelola konflik.

Pihak sekolah juga perlu menciptakan struktur dukungan yang nyata. Misalnya, pembentukan program Peer Counseling (Konseling Sebaya) atau Sahabat Curhat Remaja. Dalam program ini, siswa-siswa terpilih dilatih khusus oleh psikolog sekolah, Bapak Adi Wiratama, S.Psi., selama tiga hari penuh (Senin hingga Rabu, 1-3 September 2025), mengenai teknik mendengarkan aktif dan merespons dengan empati. Siswa yang menjadi konselor sebaya ini berfungsi sebagai agen perubahan, menjadi teladan dalam menunjukkan kepedulian dan peka terhadap kondisi teman di lingkungan nyata, bukan sekadar di dunia maya. Dengan terus Membimbing Siswa melalui program-program yang terstruktur dan terukur, sekolah tidak hanya mengajarkan empati sebagai konsep, tetapi juga sebagai keterampilan hidup yang esensial, membekali mereka untuk membangun relasi yang sehat dan bermakna, di dalam maupun di luar layar ponsel.